Minggu, 10 Februari 2013

cerpen ku

Diposting oleh Dhila di 18.24

PENYESALAN
Aku tengah duduk dikursi panjang didepan teras rumah sambil memandangi dan menikmati suasana hujan disore hari.Disebelahku, Evan pun melakukan hal yang sama.Hujan kali ini diinginnya benar-benar menusuk tulang,aku dan Evan sampai memakai jaket tebal dan syal.

Aku memandangi setiap tetesan air hujan yang turun dari langit ,setiap tetesan air yang jatuh selalu terdengar olehku,aku sangat menyukai bunyi tetesan air hujan  .Bagiku suara air hujan mempunyai arti tersendiri .Evan yang sedari tadi duduk disebelahku hanya diam membisu
sambil jari-jari tangannya mengetuk-ngetuk badan meja,suara ketukannya hampir mirip seperti bunyi tetesan air hujan yang jatuh perlahan.Mungkin sahabatku itu juga memperhatikan tetesan air hujan atau mungkin dia ingin menghiburku karena dia tahu aku menyukai bunyi tetesan air hujan.

Kupandangi Evan,Evan pun berpaling memandangku  dan tersenyum padaku.Lama.Namun,lambatlaun senyuman Evan menghilang dari hadapanku,wajah dan tubuhnya pun mulai melenyap dan sekarang aku sendri terpaku dihadapan hujan besar sambil memandang kebencian pada hujan diminggu sore ini.

Air mataku setetes demi setetes mulai berjatuhan, sekarang wajahku telah banjir dengan air mata.Aku kembali teringat dengan kisah seminggu yang lalu,hari dimana aku terakhir bersamanya.

Minggu hari,aku dan Evan seharian itu bermain dikebun teh ,kami membantu memetikan daun teh,dan kami pun seperti orang gila,berpura-pura menjadi pendaki gunung yang ceritanya sedang berpetualang mendaki gunung Jayawijaya.
“Pemirsa sekarang kami sudah berada diketinggian 11500 m.Pemirsa disini sangat dingin sekali sampai menusuk tulang,karena gunung ini diselimuti oleh salju abdi.wow subahannallah.”Evan memeragakan menjadi seorang reporter TV.Sudah seperti orang sakit jiwa.Hahaha.Dasar Evan.
Aku heran waktu disuruh Evan ambil ranting poohon,aku bingung dengan perintah itu untuk apa ranting pohon?,namun aku teteap mengikuti kata Evan.Kuambil ranting pohon yang agak besar didekat pohon mangga. 
 
“Din,kamu sekarang jadi cameramen ya.anggap ranting kayu itu sebagai kameranya”
Hah?aku tertawa terbahak menyaksikan tingkah Evan yang seperti anak kecil.Tak ada tawa ataupun senyuman dari wajah Evan ketika menyuruhku berpura-pura menjadi seorang cameramen ,raut wajahnya justru serius seperti seorang bos sungguhan.


Aneh Evan kalau becanda..
Kuturuti kata-kata Evan,berpira-pura menjadi seorang cameramen,kutaruh dan kepegang ranting kayu itu diatas pundakku,lalu aku mengikuti setiap langkah Evan,dia kekanan aku kekanan,dia kekiri aku kekiri.

Aku dan Evan akhirnya menyudahi permainana dan tingkah gila kami.Aku lalu duduk dibawah pohon mangga untuk menghlangkan keringat-keringat yang menempel didahi dan leherku.Untung udara dikebun teh  ini sejuk jadi meskipun berkeringat ‘hawa’nya tidak panas.

Dengan sigap Evan berlari kearah pohon mangga lalu menaikinya dengan lincah selincah orang utan,haha.Aku yang berada dibawah pohon mangga sampai terkaget.

Sambil menegadah keatas aku meilihat Evan mengambil beberapa mangga.Enak sekali dia,sembarangan ajah ambil-ambil mangga sebayaknya dia suka padahal nggak tahu pohon mangga ini punya siapa.Mungkin karena itu ya dia nggak tahu jadi dia asyik ajah ambil banyak.

Evan menyuruhku menangkap  mangga-mangga yang dia ambil.Evan cari masalah udah tahu aku nggak jago nangkep,segala diduruh tangkep-tangkep ajah.Tapi untungnya aku bias mengakapnya denan sempurna.hehe.
Aku mengumpulkan beberapa mangga yang sudah Evan petik.Beberapa saat setelah itu,tiba-tiba saja punggungku terasa ‘adem’seperti ditiup angin,dan akupun merasakan tiupan angin yang berseleweng dileherku.Kepalingkan wajahku kebelakang dan ternyata Evan.

Pantas saja dia dari tadi nggak turun-turun dari atas pohon ,ternyata dia membuat kipas dari lembar-lembar daun mangga.Ada-ada ajah,tapi unik kok,keren juga,idenya boleh bangat.

Ini yang aku suka dari Evan,meskipun tingkahnya suka gila,tapi dibalik itu ada kejutan kecil yang sering dia berikan.Aku ribdu akan itu,rindu akan kejutan kecilnya.Aku menyesal karena belum bisa membalas kejutan kecilnya.
Dibawah pohon mangga itu.Aku dan Evan duduk berdua berdampingan sambil memendangi puncak bukit yang tertutupi awan putih.Au terus memandanginya.Memandangnya dengan penuh konsen,sampai aku merasakan awan-awan itu berjalan dan membentuk sebuah gambar  yang rasanya pernah aku lihat dan sering aku lihat.

Awan itu membentuk bulatan yang tak sempurna ,ditengan bulatan itu tergambar sebuah garis membentuk seyum dan diatas   senyum itu terdapat gambar dua bulatan kecil.Lukisan awana yang menggambarkan wajah.Yang bagiku lukisan awan itu seperti wajah Evan,karena garis senyum itu seperti senyum sahabat kecilku.Evan.

Lukisan awan itu perlahan berjalan ,berjalan menjauh dari pandanganku dan perlahan-lahan lukisanya mengecil…mengecil  dan musnah.
Dadaku langsung terasa sesak ,hatiku menjadi tak tenang.Mengapa  wana itu membentuk senyum Evan yang membuat hatiku menjadi tak tenang stelah senyuman awan itu menhilang dan musnah.

Kutatap wajah cowok disampingku itu,dengan tatapan takut.Takut akan kehilangannya.Cukup lama aku menatapnya hingga akhirnya aku tersadar.
“Hei kamu kenapa?”Evan mengayun-ayunkan tanganya didepan wajahku.
“ng..gak,aku ng..gak kenapa-ke..napa”aku sedikit gagap menjawab tanyanya.Untung Evan tak sadar kalau sejak tadi aku memandanginya.
“Masa..kok kayaknya wajah kamu nggak tenang gitu?”Evan mengerutkan dahi,dipandanginya wajahku.
“serius aku nggak kenapa-kenapa Evan”
“terus kenapa wajah kamu kaya nggak tenang gitu?”Tanya Evan lagi penasaran.
“Ah,emang wajah aku kelihatan nggak tenang ya?”Kataku dengan nada suara yang agak lebih ceria,aku tak mau Evan sampai tahu tentang perasaanku yang memeng benar sedang tidak tenang
 
“Iya kan aku yang lihat”Evan menceriakan nada suaranya.Munkin dia juga tak ingin suasana berubah menjadi sedih
“hayoh…kamu dari tadi liatin aku ya?”ledekku penuh ceria.
“teriak Evan pas didepan wajahku”  
 
“din kira-kira persahabatan kita udah berapa lama ya?”Tanya Evan yang mengembalikan suasana menjadi sunyi.
“hhmm kurang lebih 12 tahunan.Emang kenapa Van?”
“lama juga ya.Apa kamu ada perasaan sama aku?”Tanya Evan lagi ,sambil matanya lurus kedepan.Entah apa yang dilihatnya.
“Ada,tetapi perasaan seorang sahabat”jawabku santai,tanpa ada beban apapun dihatiku,karena memang perasaanku pada Evan adalah perasaan seorang sahabat.
“dan kamu tahu,perasaan aku kekamu adalah perasaan cinta seoarang lelaki kepada wanita yang disayanginya.Bukan sebagai seorang sabahat”

Duk..detak jantungku serasa berhenti ,mataku terbelalak.Kata-kata itu tiba-tiba mengingatkanku kembali  pada kejadian dimasa waktu aku masih kelas 4 sd.Dimana hal yang sama membuatku kaget seperti ini.
Waktu itu ditempat yang sama ,dikebun teh  ini .Saat itu setelah pulang sekolah aku dan Evan jalan-jalan dulu dikebun teh  ini sambil memetik bunga madu yang ada ada disekitar kebun.Kami bercanda-canda sambil tertawa-tawa kecil ,namun tiba-tiba saja Evan mendekatiku dan membisikan sesuatu dikupingku “aku sayang sama kamu” lalau dengan begitu saja dia berlari pergi menginggalkanku sendiri yang masih terkaget dengan ucapannnya.Apa maksudnya berkata begitu padaku aku masih belum mengerti saat itu.Belum mengerti tentang artinya cinta.
Aku dan Evan sama-sama masih kecil,masih kelas 4 sd.Kami adalah anak-anak yang belum mengerti arti cinta sesunggunya,tapi Evan dia beraninya untuk berucap.Waktu iitu aku menganggap ucapan Evan itu adalah sebuah candaan belaka.

Kami pun beranjak remaja ,lalau akau tanyakan pada Evan tentang hal yang pernah dia ucapkan dulu.Setiap ketanyakan dan setiap kuingatkan dia tentang masa itu,dia selalau menjawab”aku tak ingat pernah mengatakan itu aku benar-benar tak ingat”.Aku tak tahu entah dia benar lupa atau dia pura-pura lupa.

Sekarang ditempat yang sama dikebun teh  ,Evan kembali mengucapkan hal yang serupa tentang perasaannya padaku ‘bukan hanya sekedar seorang sahabat’  dan sekarang aku tahu Evan pura-pura lupa dengan ucapannya pada masa itu ,buktinya dia kembali  mengucapkannya sekarang.MUNGKIN.
“Dinda ,kamu memang menganggap aku sebagai seorang sahabat ,tapi aku mengangap kamu sebagai belahan jiwa.Aku masih ingat,waktu itu kamu pernah bilang padaku,carilah pasangan hidupmu yang bisa membuat hatimu terus semangat ,tersenyum dan tertawa agar masa tuamu penuh warna .Jika pasangamu hanya bisa memberikan harta dan cinta ,tapi tak memberikan semangat ,senyum,dan tawa untuk hidupmu ,serasa hidup hanya berwarna hitam dan putih .Mengapa harus memilih hitam dan putih kalau ada warna-warna yang lebih indah”lalu dipandanginya wajahku sejenak.

“Evan mungkin sepasang kekasih hubungannya bisa terputus ,tapi tidak dengan sahabat yang hubungannya tak bisa terputus.Maka dari itu akau ingin selalu jadi sahabatmu,karena aku tak ingin terputus dan terpisah darimu”   kali ini aku yang memandang lurus kedepan,ketika itu aku sadar sebenarnya Evan memandangiku.cukup lama.
***

Pantas saja yang selama ini dia lakukan umtukku .Dia rela hujan-hujanan karena meminjamkan jas hujannya padaku,dia rela tak kumpul bareng dengan teman-temannya ketika aku sedang dilanda masalah,dia suka menghiburku ketika aku sakit bahkan dia sampai tertidur menungguiku waktu aku dirawat dirumah sakit.Alasan dia melakukan itu kata yang dia ucapkan,wanita itu lemah,tapi juga kuat,dia lemah karena sering mambagi kekuatannya yang berisi keceriaan ,semangat,dan canda kepada pria .Jadi ketika wanita itu sedang lemah prialah yang harus membantunya mengembalian kekuatan itu.

Jadi semua itu dia lakukan bukan karena sekedar sahabat?tapi karena perasaan terdalamnya.Kenapa Evan tak mengungkapkannya sejak dulu ketika rasa dihatiku sama seteriti apa yang Evan rasakan saat ini,kenapa dia mengungkapkannya lagi justru ketika perasaan ini telah hilang.Hilang seperti tertiup angin.
***

Langit yang tadinya cerah berubah mendung menampakan awan-awan hitam yang akhirnya menjatuhkan tetes-tetes air hujan.Lama kelamaan tetesan-tetesan itu berubah menjadi deras,akhirnya aku dan Evan mememutuskan untuk berteduh disaung yang berada beberapa meter dari tampat kami berada .

Aku, Evan berlari dibawah derasnya hujan ,diatas jalanan yang licin karena bebatuan-bebatuan kecil.Aku sempat terjatuh karena tersandunng bebatuan,Evan lalu membantuku berdiri,untuk kedua kalinya aku tejatuh lagi kali ini aku tersandung sandalku sendiri yang terlepas karena licin tersiram air hujan.Evan membantuku berdiri lagi ,kali ini dia menuntunku berjalan.Percuma saja kami tetap kehujanan karena kakiku yang sakit,kami pun jadi harus berjalan bukannya malah lari.

Tiba disaung,aku langsung membaringkan tubuhku,duduk dan meneduh,tapi Evan tak langsung seperti aku,dia masih tetap berdiri,dia justru membersihkan sandalnya yang kotor terkena tanah.Apa coba yang dia lakukan,aneh.Udah tahu masih hujan deras dia malas bersihin sepatunya,kan itu bisa nanti.Ya sudahlah.

Memang ya kita tak akan tahu takdir Tuhan itu kapan datang,mau detik atau menit atau besok kita mati pun itu bisa saja terjadi,seperti yang saat itu aku rasakan .Sebuah motor melaju dengan kecepatan tinggi melawan derasnya hujan dari arah belakang,mungkin karena hujan diasulit mengendalikan motornya,mumgkin karena hujan dia sulit melihat dengan jelas ketika sedang berkendar makanya motor yang dikendarai lelaki muda itu menghantam Evan yang saat itu sedang berdiri,seketika tubuhnya terbujur lemas dan mengeluarkan banyak darah,namun pengendara motor itu pergi begitu saja.
***
Ternyata lukisan awan yag menggambarkan wajah Evan adalah pertanda bahwa aku akan kehilangannya  untuk selamanya.Seharusnya waktu itu aku memilih Evan untuk menjadi kekasihnya ,karena  lebih baik kehilangannya karena menjadi kekasihnya dari pada harus menjadi sahabatnya tapi harus kehilangan untuk selamanya.



0 komentar:

Posting Komentar

 

Dhila Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos